Kerajaan Aceh Darussalam 407 tahun (1496 - 1903 m)
Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai
penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala‘ al-Din Mughayat Syah
(1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil
mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi
al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri
Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin
oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki
era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik
internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah
terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu berpandangan
bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin
bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para hartawan dan
uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya
berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat itu, berakhirlah era
sultanah di Aceh.
Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan
Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-18
tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan
Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M, Belanda mulai
mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M,
Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang
tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan 1893
M, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebaut
Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya telah putus asa untuk merebut
Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang sarjana dari
Universitas Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar mengubah fokus
serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung perlawanan
rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk
melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada
para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda dengan
menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah
yang dibakar Belanda.
Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses
menaklukkan Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima militer, kemudian
diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir
seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun
1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun demikian,
sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada Belanda. Perlawanan
yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap berlangsung. Sebagai
catatan, selama perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat orang
jenderalnya yaitu: Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H.
Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.
Kekuasaan Belanda berlangsung hampir setengah abad, dan berakhir seiring
dengan masuknya Jepang ke Aceh pada 9 Februari 1942. Saat itu, kekuatan
militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan
mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum.
Hubungan baik dengan Jepang tidak berlangsung lama. Ketika Jepang mulai
melakukan pelecehan terhadap perempuan Aceh dan memaksa masyarakat untuk
membungkuk pada matahari terbit, maka, saat itu pula mulai timbul
perlawanan. Di antara tokoh yang dikenal gigih melawan Jepang adalah
Teungku Abdul Jalil. Kekuasaan para penjajah berakhir ketika Indonesia
merdeka dan Aceh bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
2. Silsilah
Berikut ini daftar para sultan yang pernah berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
Catatan: Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada
dua periode yang berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif
al-Alam (1815-1818).
3. Periode Pemerintahan
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri sejak akhir abad ke-15 hingga awal abad
ke-20 M. Dalam rentang masa empat abad tersebut, telah berkuasa 35
orang sultan dan sultanah.
4. Wilayah kekuasaan
Di masa kejayaannya, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup sebagian pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya dan Pattani.
5. Struktur pemerintahan
Pada masa Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589) berkuasa, kerajaan
Aceh sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Kanun
Syarak Kerajaan Aceh. Undang-undang ini berbasis pada al-Quran dan
hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya,
terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk
syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah
menunjukkan bahwa, walaupun Aceh telah memiliki undang-undang, ternyata
belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.
Dalam struktur pemerintahan Aceh, sultan merupakan penguasa tertinggi
yang membawahi jabatan struktural lainnya. Di antara jabatan struktural
lainnya adalah uleebalang yang mengepalai unit pemerintahan nanggroe
(negeri), panglima sagoe (panglima sagi) yang memimpin unit pemerintahan
Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan mukim yang
terdiri dari beberapa gampong, dan keuchiek atau geuchiek yang menjadi
pimpinan pada unit pemerintahan gampong (kampung). Jabatan struktural
ini mengurus masalah keduniaan (sekuler). Sedangkan pemimpin yang
mengurus masalah keagamaan adalah tengku meunasah, imam mukim, kadli dan
para teungku.
6. Kehidupan Sosial Budaya
a. agama
Dalam sejarah nasional Indonesia, Aceh sering disebut sebagai Negeri
Serambi Mekah, karena Islam masuk pertama kali ke Indonesia melalui
kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, Serambi
Mekah, orang Aceh mayoritas beragama Islam dan kehidupan mereka
sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam ini. Oleh sebab itu,
para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh. Selain
dalam keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam berlangsung
di dayah dan rangkang (sekolah agama). Guru yang memimpin pendidikan dan
pengajaran di dayah disebut dengan teungku. Jika ilmunya sudah cukup
dalam, maka para teungku tersebut mendapat gelar baru sebagai Teungku
Chiek. Di kampung-kampung, urusan keagamaan masyarakat dipimpin oleh
seseorang yang disebut dengan tengku meunasah.
Pengaruh Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan
sastra Aceh. Manuskrip-manuskrip terkenal peninggalan Islam di Nusantara
banyak di antaranya yang berasal dari Aceh, seperti Bustanussalatin dan
Tibyan fi Ma‘rifatil Adyan karangan Nuruddin ar-Raniri pada awal abad
ke-17; kitab Tarjuman al-Mustafid yang merupakan tafsir Al Quran Melayu
pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel tahun 1670-an; dan Tajussalatin
karya Hamzah Fansuri. Peninggalan manuskrip tersebut merupakan bukti
bahwa, Aceh sangat berperan dalam pembentukan tradisi intelektual Islam
di Nusantara. Karya sastra lainnya, seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat
Malem Diwa, Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah
Melayu, merupakan bukti lain kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan
masyarakat Aceh.
b. Struktur sosial
Lapisan sosial masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural,
kualitas keagamaan dan kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki
jabatan struktural di kerajaan menduduki lapisan sosial tersendiri,
lapisan teratasnya adalah sultan, dibawahnya ada para penguasa daerah.
Sedangkan lapisan berbasis keagamaan merupakan lapisan yang merujuk pada
status dan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan
keagamaan. Dalam lapisan ini, juga terdapat kelompok yang mengaku
sebagai keturunan Nabi Muhammad. Mereka ini menempati posisi istimewa
dalam kehidupan sehari-hari, yang laki-laki bergelar Sayyed, dan yang
perempuan bergelar Syarifah. Lapisan sosial lainnya dan memegang peranan
sangat penting adalah para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat
itu komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada.
c. Kehidupan sehari-hari
Sebagai tempat tinggal sehari-hari, orang Aceh membangun rumah yang
sering disebut juga dengan rumoh Aceh. Untuk mencukupi kebutuhan hidup,
mereka bercocok tanam di lahan yang memang tersedia luas di Aceh. Bagi
yang tinggal di kawasan kota pesisir, banyak juga yang berprofesi
sebagai pedagang. Senjata tradisional orang Aceh yang paling terkenal
adalah rencong, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat dari
dekat menyerupai tulisan kaligrafi bismillah. Senjata khas lainnya
adalah Sikin Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee.
Banda Aceh: Dari Masa Ke Masa
Sebelum munculnya kerajaan-kerajaan di daerah Aceh ini telah diketemukan
tanda-tanda adanya kehidupan manusia sejak jaman masa prasejarah.
Peninggalan-peninggalan bukit-bukit kecil yang tingginya sekitar 4-7
meter yang terdiri dari bahan-bahan kulit kerang di Aceh Timur sekarang
membuktikan keberadaan manusia di Aceh pada masa mesolithicum. Di dalam
bukit-bukit itu terdapat artefak-artefak (alat-alat) sejenis alat batu.
Menurut penyelidikan para ahli, kebudayaan Mesolithicum di Aceh Timur
ini berpangkal di daerah Bakson Hoa Binh di Tonkin kemudian berpindah ke
selatan dan masuk bagian barat Indonesia.
Pada masa Neolithicum kebudayaan me-ningkat lebih tinggi dari
sebelumnya. Pada masa itu manusia mulai melakukan pekerjaan pertanian
dan tidak bersifat nomaden lagi. Adapun bangsa yang dianggap memiliki
kebudayaan seperti itu adalah bangsa Melayu Tua. Diduga bangsa Melayu
Tua ini pernah mendiami wilayah Aceh. Namun kemudian, bangsa ini
terdesak oleh bangsa Melayu Muda yang datang kemudian dengan membawa
kebudayaan yang lebih tinggi. Mereka telah mampu membuat peralatan dari
perunggu atau besi. Bangsa Melayu Muda inilah yang dianggap sebagai
nenek moyang suku bangsa Jawa, Aceh, Bugis, Melayu, Banjar dan
sebagainya.
Sebelum Islam masuk ke Aceh, diduga telah ada kerajaan bernama Lamuri,
yang tampaknya ada berbagai macam penyebutan. Ada yang menyebut Lamori,
Rami, Lamli, Lan-bu-li, Lan-wu-li, Ramni, Lamri dan Nanpoli. Namun
tampaknya penulis-penulis asing tidak ada yang membedakan penggunaan
nama tersebut (M. Ibrahim, et.al, 1991). Keberadaan kerajaan ini telah
banyak ditulis oleh penulis bangsa asing baik dari Barat maupun Asia.
Kerajaan ini diperkirakan telah pula menjalin hubungan dengan kerajaan
di luar Aceh, seperti Cina dan Persia.
Pada masa kerajaan Lamuri kota Banda Aceh memang belum terbentuk.
Keberadaan ibukota kerajaan Lamuri sendiri masih belum diketahui secara
tepat. Namun berdasarkan Hikayat Aceh kerajaan ini terletak di tepi
laut/pantai. Teuku Iskandar mengatakan bahwa Lamuri terletak di dekat
Krueng Raya. Namun kemudian, pada akhir abad ke-15 pusat kerajaan ini
dipindah ke Makota Alam (Kuta Alam sekarang) yang terletak di sisi utara
Krueng Aceh. Pemindahan ini disebabkan karena adanya serangan dari
Pidie dan pendangkalan muara sungai. Sejak itu, kerajaan Lamuri dikenal
dengan nama kerajaan Makota Alam.
Selain kerajaan Makota Alam, di Krueng Aceh saat itu terdapat pula
kerajaan lain, yaitu kerajaan Aceh. Diduga kedua kerajaan ini tumbuh
secara bersama-sama. Raja-raja yang pertama di kerajaan Aceh
berkedudukan di Kandang Aceh (tidak jauh dari kota Banda Aceh sekarang).
Sebuah catatan yang dipelajari oleh Hoesin Djajadiningrat mengatakan
bahwa Sultan Johan Syah yang memerintah pada tahun 601 H (1205 M)
berkedudukan di Kandang Aceh. Tampaknya, hal inilah yang selanjutnya
dalam Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh, Sultan Johan Syah ditetapkan
sebagai pendiri kerajaan Aceh dan awal pemerintahannya (tanggal 22 April
1205 atau 1 Ramadhan 601 H) ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Banda
Aceh sesuai dengan yang terdapat dalam Adat Aceh.
Namun kemudian, ibukota kerajaan ini juga dipindahkan ke Daruddunia oleh
Sultan Mahmud Syah sesudah memerintah selama 43 tahun. Sebelum tahun
1500 Aceh belum dikenal oleh orang-orang asing karena kerajaan ini
terletak lebih dari satu mil ke pedalaman sehingga tidak banyak
disinggahi oleh orang-orang asing yang melakukan perjalanan antara Cina
dan India. Walaupun ibukota kerajaan pernah dipindah, tetapi kemudian
ibukota kerajaan Aceh ini dipindah lagi ke Darul Kamal (lebih kurang 10
Km dari pantai). Alasan pemindahan ibukota ini tidak diketahui. Sejak
itu kerajaan Aceh dikenal dengan nama kerajaan Darul Kamal atau Aceh
Darul Kamal.
Di antara kedua kerajaan yang telah disebutkan di atas ternyata tidak
pernah dapat hidup rukun. Keduanya sering kali terlibat dalam
pertempuran untuk saling mengalahkan. Walaupun kerajaan Mahkota Alam
mendatangkan senjata atau meriam dari luar, namun tidak ada satu pun di
antaranya yang berhasil mengalahkan. Pertentangan kedua kerajaan
berakhir setelah kerajaan Mahkota Alam yang saat itu diperintah oleh
Sultan Syamsu Syah putera Munawar Syah melakukan siasat licik.
Di dalam Hikayat Aceh (M. Ibrahim, et.al, 1991) disebutkan bahwa Syamsu
Syah pura-pura menjodohkan puteranya Ali Muhayat Syah dengan puteri
kerajaan Darul Kamal. Peminangan ini dapat diterima oleh Sultan Muzaffar
Syah putera Inayat Syah yang pada waktu itu memerintah Darul Kamal.
Namun pada saat arakan-arakan mengantarkan mas kimpoi, pasukan Makota
Alam menyembunyikan senjata-senjata perang. Setibanya di Darul Kamal
pasukan Makota Alam melakukan serangan tiba-tiba terhadap Darul Kamal.
Banyak jatuh korban di kalangan pem- besar kerajaan termasuk pula Sultan
Muzaffar Syah. Dengan demikian, Sultan Syamsu Syah dari Mahkota Alam
memerintah kedua kerajaan.
Pada tahun 1516 Ali Mughayat Syah dinobatkan menjadi raja, menggantikan
ayahnya Sultan Syamsu Syah. Ibukota kerajaan dipindahkan lagi ke
Daruddunia (Banda Aceh sekarang). Dan, sejak itu kedua kerajaan sudah
dipersatukan. Nama kerajaan kemudian menjadi kerajaan Aceh Darussalam
dengan ibukotanya disebut juga dengan nama Bandar Aceh Darussalam.
Pada masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah naik tahta kerajaan-kerajaan
di sekitarnya, seperti Pidie, Perlak, Samudra Pasai, ditaklukkan dan
dimasukkan ke dalam wilayah kerajaan Aceh. Perluasan kerajaan ini tidak
lepas dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Semenjak Malaka jatuh ke
tangan Portugis perdagangan di Selat Malaka menjadi kacau. Para
pedagang mencari alternatif lain. Akhirnya Bandar Aceh Darussalam
menjalankan peran yang pernah dipegang oleh Malaka.
Semenjak saat itu Banda Aceh menapaki masa kejayaannya. Kota Banda Aceh
berkembang menjadi kota maritim, perdagangan, dan bahkan kota
metropolitan pada masanya, selain sebagai ibukota kerajaan. Perkembangan
Banda Aceh memasuki masa puncaknya pada saat kerajaan Aceh diperintah
oleh Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda membangun negerinya
dengan sungguh-sungguh. Sultan Iskandar Muda juga menetapkan Kanun
Meukuta Alam sebagai sumber hukum yang mengatur tata kehidupan
bermasyarakat dan tata kehidupan kerajaan.
Kota Banda Aceh dibangun sedemikian rupa sehingga representatif sebagai
sebuah ibukota kerajaan besar. Seperti juga kota-kota besar lainnya,
prasarana dan sarana Banda Aceh boleh dikatakan cukup lengkap. Letak
Istana kerajaan yang dinamakan Daruddunia menghadap ke Barat Laut.
Kemudian di sekeliling istana dibangun danau dan sungai buatan yang
mengalir di tengah-tengah istana, yang dinamakan Darul Asyiki. Di
samping itu, dibangun Taman Sari yang dinamakan Taman Ghairah. Di
sebelah Barat istana dibangun sebuah mesjid raya (Mesjid Jami) yang
dinamakan Baiturrahman sedangkan masjid di dalam istana dinamakan
Baiturrahim serta dibangun pula mesjid kecil lainnya di dalam kota.
Kampung-kampung juga telah ditata dengan baik yang di- sesuaikan dengan
profesi atau asal penduduknya, seperti ada kampung Pande (tempat-tempat
kediaman tukang-tukang), kampung Biduen (tempat kediaman para
penghibur), kampung Jawa (tempat kediaman orang Jawa), dan sebagainya.
Sedangkan jumlah penduduk Banda Aceh saat itu diperkirakan 100.000 orang
(Zakaria Ahmad dan M.Ibrahim, 1986). Suatu angka jumlah penduduk kota
yang cukup besar pada masa itu.
Saat itu, Sultan Iskandar Muda juga berusaha memerangi Portugis yang
masih bercokol di Malaka. Beberapa kali Sultan Iskandar Muda mengirim
pasukan ke sana, namun sampai akhir masa pemerintahannya Portugis tidak
terusir dari Malaka.
Kemudian, Belanda datang mencoba menganeksasi kerajaan Aceh. Banda Aceh
yang sedang mengalami puncak kejayaannya mulai surut selangkah ke
belakang. Pada tahun 1873 Banda Aceh mendapat serangan dari Belanda.
Pada saat itu, Mesjid Baiturrahman sempat direbut oleh Belanda, namun
Belanda harus angkat kaki lagi karena rakyat Aceh berhasil mengusirnya
kembali. Baru pada saat serangan kedua Belanda berhasil merebut dalam
(kraton) dan Mesjid Baiturrahman. Sultan Mahmud Syah yang memerintah
saat itu kemudian meninggalkan kraton dan mengungsi ke tempat lain.
Pada tanggal 24 Januari 1874 Jendral Van Swieten sempat menggantikan
nama Banda Aceh menjadi Kutaradja. Perubahan yang dilakukannya mempunyai
tujuan politis, ingin menunjukkan kepada gubernur jendral di Batavia
dan kepada raja Belanda di Amsterdam seolah-olah ia telah menguasai
istana raja dan kerajaan Aceh.
Walaupun Belanda berhasil merebut kraton namun demikian bukan berarti
kerajaan Aceh telah jatuh. Perlawanan terus-menerus diberikan oleh
rakyat Aceh. Di sinilah Belanda mengalami perang yang paling lama dengan
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dibandingkan perang-perang lain
di tanah air. Pada masa pendudukan Belanda, di Banda Aceh sempat
dibangun kembali Mesjid Baiturrahman oleh pihak Belanda untuk menarik
simpati rakyat Aceh, walaupun tidak sebanding dengan penderitaan yang
dialami oleh rakyat Aceh.
Di bawah kekuasaan Belanda, kota Kutaradja dijadikan
sebagai tempat kedudukan gubernur, baik gubernur militer (sebelum tahun
1918) maupun gubernur sipil (dari 1918-1936). Hal ini tampak dari
dibangunnya Pendopo Gubernur. Gubernur membawahi Aceh dan daerah-daerah
takluknya (Atjeh en Onderhoorigheden). Wilayahnya meliputi Propinsi
daerah Istimewa Aceh sekarang. Sejak tahun 1936 pemerintah Hindia
Belanda merubah status Aceh dari gubernemen menjadi karesidenan, yang
pimpinannya berada di bawah seorang residen dan berkedudukan di
Kutaradja (Banda Aceh). Status karesidenan ini berlangsung hingga tahun
1942, saat Belanda meninggalkan Indonesia dan Jepang masuk ke Indonesia.
Masuknya Jepang tidak merubah keadaan kota Kutaradja. Struktur
pemerintahan Belanda masih tetap diteruskan. Kota Kutaradja masih tetap
berstatus sebagai karesidenan yang diperintah oleh seorang residen. Saat
itu, yang berubah hanya nama-nama saja (disesuaikan dengan nama
Jepang), kalaupun ada perubahan tidak begitu berarti.
Selama pendudukan Jepang, kondisi sosial ekonomi pun tidak begitu
berubah, malahan lebih parah dibandingkan sebelumnya. Semangat
perjuangan pun tidak pernah pudar. Rakyat masih tetap berjuang mengusir
kaum imprialis dan kolonialis.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Kutaradja tidak semata-mata menjadi
ibukota propinsi daerah Aceh, tetapi juga pernah menjadi tempat
kedudukan ibukota Propinsi Sumatra Utara dan bahkan pernah ditetapkan
pemerintah pusat sebagai tempat kedudukan resmi wakil perdana menteri
Republik Indonesia mulai tanggal 4 Agustus 1949.
Banda Aceh pernah pula dijadikan pusat pengatur perlawanan terhadap
pasukan penjajah yang datang kembali ke Indonesia, utamanya sebagai
tempat kedudukan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Pada
saat pemerintah pusat Republik Indonesia di Yogyakarta sekali lagi Banda
Aceh berperan besar dalam membantu pemerintah pusat. Dari kota inilah
semua kebijakan dirumuskan. Peran lain yang menonjol pada masa revolusi
kemerdekaan (1945-1949) ini adalah Banda Aceh tampil sebagai daerah
modal. Pada tanggal 23 Maret 1956 dengan Undang-undang No.8/DRT/1956
dibentuk daerah otonom, yaitu Kotapradja Kutaradja dengan ibukotanya
Kutaradja.
Ketika ada "riak kecil" di daerah Aceh, Kutaradja tampil kembali sebagai
tempat bersejarah. Kota Kutaradja ditetapkan sebagai tempat Sidang
Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Setelah Sidang Musyawarah Kerukunan
Rakyat Aceh dan Gubernur Aceh pada masa itu dijabat oleh A. Hasjmy nama
Kutaradja dirubah kembali menjadi Banda Aceh. Resminya nama itu
ditetapkan pada tanggal 21 April 1962. Dan, sejak saat itu secara
berangsur-angsur nama Kutaradja jarang dipergunakan lagi.
Dalam lintasan sejarahnya, Banda Aceh ternyata telah menapaki masa-masa
pasang dan surut yang memiliki kronologis sejarah yang cukup panjang.
Semenjak Orde Baru, Banda Aceh mulai menapaki masa-masa pembangunan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Denyut nadi pembangunan
terasa setiap hari di kota ini. Kota dibangun dengan sungguh-sungguh dan
dilengkapinya dengan berbagai fasilitas yang layak sebagai sebuah kota,
yang tidak hanya sebagai sebuah ibukota kotamadya, tetapi juga sebagai
sebuah ibukota propinsi. Berbagai prestasi pernah diraih oleh kota ini.
Salah satunya adalah penerimaan penghargaan sebagai kota terbersih,
Adipura, dari Presiden Soeharto yang diterima oleh Walikota Sayed Husein
Al Haz pada tahun 1996 yang lalu.
Banda Aceh Sebagai Pusat Perdagangan Di Selat Malaka Pada Abad 16-19
Banda Aceh menjadi semakin berkembang ketika sultan
Aceh berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan otonom yang telah ada di
kedua sisi pantai pantai Sumatra, yaitu Daya, Singkel, Barus, Tiku,
Pariaman, Lamuri, Pidie, Pasei, Peureulak, Aru, Deli Siak, bahkan Johor
atau Pahang. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang kaya sumber
daya komoditi pertanian/hutan dan bahan mineral. Karena potensi daerah
pedalaman yang terbatas untuk menunjang kebutuhan ibukota kerajaan dan
sebagai sumber pemasukan dan pembiayaan istana, maka sultan kemudian
memberlakukan serangkaian kebijakan yang bersifat pembatasan daerah
takluk dengan dunia keluar dan sekaligus memaksa kapal-kapal asing untuk
berhubungan dengan ibukota (Banda Aceh).
Kebijakan tersebut membawa dampak bahwa Bandar Aceh Darusssalam (Banda
Aceh-sekarang) tumbuh menjadi kota perniagaan yang ramai. Banyak
pedagang asing singgah dan menetap, diantaranya dari Arab, Persia, Pegu,
Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam, Eropa dan lain-lain.
Kota ini tumbuh menjadi sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter
multietnis. John Davis of Sandridge, yang bekerja untuk sebuah kapal
Belanda di bawah pimpinan de Houtman bersaudara (Cornelis dan Frederick)
berada di Aceh pada 1598 (ketika Aceh berada di bawah Sultan Alaudin
Riayat Syah Al-Mukammil (1589-1604)) menulis kesan-kesannya tentang
keberadaan orang asing dan perdagangan di Aceh dengan mengatakan bahwa,
“The one and twentieth (June 1599) we anchored in the Bay of Achin, in
twelve fathome. Being here, the King sent hos Officers to measure the
length and breadth of our ships, to take the number of our Men and
Ordnance, which they did. With those Officers, our Baase (Dutch baas,
boss) sent two of his people with Present to the King, a Looking-glasse,
a Drinking-glasse, and Bracelet of Corall. The one and twentieth, our
men came aboord, whome the King had apparelled after his Countrey
manner, in white Calicut cloth: they brought newes of peace, Welcome and
plenty of Scicery. We found foure Banks riding the Bay, three of
Arabia, and of Pegu, that came to lade Pepper. Here was also a
Portugall, named Don Alfonso Vincent, that came with foure Barkes from
Malacca, to prevent our trade (Ali, 2008: 4)
(Tanggal 21 (Juni 1599) kami bersauh di pantai Aceh, sedalam dua belas
depa. Raja mengirim pejabatnya untuk mengukur panjang dan luasnya
kapal-kapal kami, menghitung jumlah anggota kami dan peralatan militer.
Bersama dengan pejabat-pejabat itu, pemimpin kami mengirim dua
anggotannya dengan (membawa) hadiah-hadiah kepada raja, sebuah cermin
dan gelas, serta gelang batu. Pada tanggal 21 kami mendarat dimana raja
telah berdandan khas daerah dalam pakaian putih Kalikut: mereka
menyampaikan berita perdamaian, keramah-tamahan, dan sekian banyak
rempah-rempah. Kami melihat empat barks (kapal, tongkang ?) yang
berlayar di pantai, tiga milik orang Arab dan satunya lagi milik orang
Pegu, yang datang untuk memuat lada. Juga orang Portugas, bernama Don
Alfonso Vincent, yang datang dengan empat barks dari Malaka, untuk
merintangi perdagangan kami).
Tiga tahun kemudian Sir James Lancaster (Rusdi dan Wibowo, 2004) juga
mengunjungi kota ini, melukiskan kesan-kesannya dengan mengatakan bahwa,
“... in the roade of Achem, some two miles of the city; where we found
eighteen saile of shippes of divers nations, some goserats, some of
Benggala some of Calicut (called Malabares), some Pegues, and some
Patanyes, which came to trade there”
(“... dalam perjalanan menuju Aceh, kira-kira dua mil dari kota, kita
melihat 18 pelaut dari kapal-kapal niaga dari bermacam-macam bangsa,
beberapa dari Gujarat, beberapa dari Benggala, beberapa dari Kalikut
(disebut juga Malabar), beberapa dari Pegue, beberapa dari Pataya, yang
datang untuk berdagang di sana)”.
Sedangkan dalam Hikayat Malem Dagang, kondisi Banda Aceh digambar dengan kata-kata sebagai berikut,
“Bak masa nyan (Iskandar Muda) rame pi that, peu nyan hajat dum halena.
Nanggroe pi luah, banda pi rame han meu ne/ne keunan teuka. Padum-padum
kapay di Kleng jime bakong beusoe meulila. Padum kapay Meulabari ngon
Geujarati ngon Beunggala... Padum kapay na yang me tjawan, krikay,
dulang, pingan raya. Padum-padum kapay di Keudah,- idja mirah meuneukat
jiba, tunong baroh, timu barat, dempeu alat pi na jiba. Di Atjeh kon
troih u barat, meuceuhu that po meukuta”.
Pasar adalah sebuah tempat bertransaksi dan salah satu pusat keramaian.
Adanya pasar dapat menarik bangsa-bangsa lain untuk datang ke Aceh.
Apalagi Malaka sebagai salah satu pusat perdagangan di selat Malaka
dikuasai oleh Portugis. Banda Aceh yang saat itu menggantikan posisi
Malaka menjadi semakin ramai. Menurut Dampier, kota itu rumahnya 7 atau
8000. “Achin kelilingnya kira-kira 2 mil”, kata de Graff. Pasar, seperti
yang disebut Davis, berupa lapangan besar yang setiap hari menjadi
pasar segala macam barang dagangan. Yang dilihat Graff hanya tinggal dua
lapangan besar untuk mengadakan pasar, yang satu “di tengah-tengah
kota” dan yang lain “di ujung atas” (hulu sungai ?). Di tempat itulah
para pedagang, baik yang muslim maupun yang menyembah berhala, dengan
segala macam dagangannya. Peter Mundy memberitakan bahwa ada yang
menjual telur penyu rebus. Warung mereka masing-masing dipungut bea
sekeping emas sebulan untuk orang kaya Sri Maharaja (Ambary, 1988:
91-92). Dalam hal ini, John Davis (Ali, 2008) juga menggambarkan keadaan
kota Banda Aceh dengan mengatakan,
“the citie of Achin, if it may be so called, is very spacious, built in
wood, so that we could not see a house till we were upon it. Neither
could we go into any place, but wee found houses, and great councourse
of people: so that I thinke the town spreadeth over the whole land... I
saw three great market places, which are everdy frequented as faires
with all kindes of merchandize to sell”.
(Kota Aceh, jika boleh disebutkan kota, yang dibangun di tengah hutan,
sangat luas, hingga kita tak bisa melihat rumah kecuali telah berada di
sana. Kemana pun pergi, kita temukan rumah-rumah dan kerumunan orang
hingga saya kira kota tersebut meluas ke seluruh negeri... saya melihat
tiga pasar besar yang dikunjungi orang setiap hari dengan seluruh jenis
barang dagangan untuk dijual).
Selain pasar, pusat kegiatan umum yang menghidupkan denyut jantung kota
adalah masjid. Pada masa Iskandar Muda berkuasa, masjid selalu dibangun
dalam jumlah besar. Bahkan Masjid Bait ur Rahman pernah dipugar dan
diperbesar pada tahun 1614. Akan tetapi, sangat disayangkan, pada masa
pemerintahan Sultan Nurul Alam (1675-1678) terbakar. Namun demikian,
sebelumnya Peter Mundi (1673) pernah membuat dokumentasi bagaimana
bentuk masjid tersebut.
Untuk menunjang aktivitas perdagangan, Banda Aceh pada zamannya, sultan
selalu memperhatikan pekerjaan bangunan kota dan berusaha supaya
jumlahnya cukup banyak untuk menampung pendatang baru yang tertarik oleh
pengembangan kota besar. Menurut Beaulieu, Sultanlah yang memberi
pengarahan, dia sendiri yang menentukan bagaimana contoh gedung yang
hanya mempunyai satu lantai dan dindingnya dari anyaman. Ia juga
mengawasi supaya pembangunannya berlangsung secepat-cepatnya, dan
budak-budak raja dipakainya dalam pekerjaan itu sibuk siang malam,
“tanpa menyia-nyiakan terang cahaya bulan”.
Akan tetapi, ada keluhan tentang masalah rumah ini bagi
pelaut/penjelajah asing, yaitu harga tanah dan bangunan mahal. “The
ground and house cost almost one hundred pound starling”, kata James
Lancaster. Sedangkan Beaulieu mempunyai pengalaman saat mencari rumah
sewaan yang begitu tinggi meskipun menurutnya sudah menawar dengan harga
tinggi pula,
“sesudah makan kami bersama-sama melihat rumah dekat rumah orang Inggris
yang cukup nyaman. Tetapi, kapten pengawal, pemiliknya, minta seratus
real setiap bulan; harga itu menurut saya terlalu tinggi, maka saya tak
jadi menyewanya, meskipun saya sudah menawarkan 40 real sebulan”.
Walaupun mahal, rumah-rumah itu sendiri sedikit sekali yang dibangun
dengan batu. Graff memberi gambaran bahwa rumah-rumah dari alang-alang
dan dari bambu... tetapi semuanya terdiri di atas tiang bambu setinggi 4
atau bahkan sampai 6 kaki (1,20 m – 1,80 m) di atas tanah larena pasang
purnama dan sungai hampir setiap tahun menggenangi kota sehingga orang
terpaksa naik perahu dari rumah ke satu rumah lainnya (Lombard, 1986).
Untuk mendukung Banda Aceh sebagai pusat perdagangan kota Banda Aceh
pada abad 16-17 tampak pula pengelompokkan kampung berdasarkan pada asal
pedagang dan bangsa asing. Menurut catatan Davis di kota ini terdapat
Kampung Portugis, Gujarat, Arab, Benggali, Pegu, “here are many of China
that use trade, and have their particular towne, so have the Portugais,
the Gusarates, the Arabinas, and those of Benggala and Pegu”.. Bahkan
menurut Graff mereka yang menyembah berhala seperti Hindu mempunyai
meru-meru mereka sendiri. Kampung Cina dan Eropa malah berhimpitan dan
ada kampung-kampung lain yang rumahnya lebih jauh letaknya. Pada umumnya
rumah terbuat dari kayu, bambu dengan atap alang-alang.
Selain perkampungan, tata ruang kota, fasilitas kota, di Banda Aceh juga
telah ditetapkan peradilan yang mengatur tata tertib kehidupan
masyarakat. Menurut Beaulieu, pada masa Sultan Iskandar Muda terdapat 4
peradilan, yaitu perdata, pidana, agama, dan niaga. Pengkhususan yang
sedemikian tidak mengherankan dalam masyarakat sedemikian beragam dan
kosmopolit. Peradilan perdata dilaksanakan setiap pagi, kecuali hari
Jumat, di tempat balai peradilan yang letaknya dekat masjid
Baiturrahman. Peradilan pidana juga bertempat di balai dekat balai
perdata dan peradilan agama melaksanakan perkara-perkara khusus dengan
tujuan menegakkan akhlak Islam bagi masyarakat Aceh, terutama dalam
hal-hal berjudi, minuman keras, zinah dan sebagainya. Peradilan niaga
dilakukan di balai yang terletak di dekat pelabuhan untuk menyelesaikan
perselisihan antara pedagang, baik pedagang asing maupun pribumi.
Peradilan niaga diketuai oleh Orang Kaya Laksamana yang kedudukannya
sama dengan “walikota” (Lombard, 1986).
Kondisi alam yang tidak ramah bagi pelaut ketika akan memasuki Banda
Aceh dapat menjadi benteng pertahanan alam yang tidak mudah masuk ke
kota dari arah laut. Kesukaran-kesukaran tersebut merupakan jawaban
mengapa kota tidak dilindungi oleh tembok kota untuk pertahanan dan
secara sadar orang Aceh pun merasa tidak perlu tembok tersebut. Akan
tetapi, gajah-gajah tempurlah sesungguhnya benteng kota (Lombard, 1986).
Jumlah binatang ini pada masa jaya kerajaan Aceh sekitar 900 ekor.
Selain itu, kerajaan Aceh juga memiliki kapal layar dan kapal galley. Di
antara kapal-kapal tersebut mempunyai ukuran yang melebihi ukuran kapal
yang dibangun oleh orang Eropa. Sebagai penunjang pertempuran, kerajaan
Aceh memiliki meriam. Menurut Beaulieu pernah mencatat di Banda Aceh
terdapat 2000 pucuk meriam, terdiri atas 1200 meriam berkaliber sedang
dan 800 meriam berkaliber besar (Sufi, 1988: 145-146)