Sabtu, 29 Juni 2013

Interpolasi


Operasi Interpolasi Manual :

Contoh data dalam tabel dibawah ini :
No.
T (oC)
P (atm)
1
25
2
2
51
3
75
9

2       = X1
9       = X2
25     = nilai atas
51     = nilai dicari
75     = nilai bawah

Tentukan terlebih dahulu Y1 dan Y2 :
Selisih 2 ke 1 :
51 – 25 = 26 --> 26 = Y1
Selisih 3 ke 2 :
75 – 51 = 24 --> 24 = Y2
Jumlah Y1 + Y2 adalah Z :
Y1 + Y2 = Z
26 + 24 = 50 --> 50 = Z

Untuk menghitung P pada T = 51 oC adalah dengan cara interpolasi data yaitu sebagai berikut :
{(Y2 . X1) + (Y1 . X2)}/Z    = {(24 . 2) + (26 . 9)}/50
                                            = 5,64 atm

Jadi pada T = 51 oC tekanannya adalah 5,64 atm.

Penting

http://www.4shared.com/office/NVgKjqFl/Maklumat_oleh_Tgk_H_M_Daud_Beu.html

Materi Basic Office & Internet

http://www.4shared.com/office/NYcPQJGd/MATERI-MATERI_BASIC_OFFICE_-_I.html

Catatanku : VORTEX

Time Glitch (Kekacauan Waktu)
Vortex secara bahasa adalah pusaran, lingkaran dan sebagainya. Tapi seara istilah ada yang memberi arti vortex adalah ruang atau lorong waktu.
Dalam ilmu Quantum Fisik adalah jarak yang memisahkan dua tempat bisa sangat dekat jika bisa masuk ke dalam dan melintasnya. Misalnya, piring terbang milik makhluk luar angkasa atau yang lebih dikenal dengan sebutan UFO (Unidentified Flying Object) mampu terbang dengan sangat cepat bahkan mengalahkan kecepatan pesawat super sonik milik NASA (National Aeronautics and Space Administration) Amerika Serikat. UFO mampu melakukan hal yang sedemikian karena makhluk tersebut tahu letak vortex – vortex yang dilaluinya (vortex abnormal), mereka bisa berpindah dari jarak yang sangat jauh dalam waktu yang sangat singkat, bahkan hal ini diluar rasio manusia dan ilmuwan. Sedangkan para astronot dengan bantuan ilmuwannya dari bumi hanya bisa melakukan perjalanan jauh melalui vortex normal, yang semua itu membutuhkan waktu yang lama.
Untuk lebih jelasnya perhatikan baik – baik gambar di bawah ini :
Gambar 1. Pebandingan jarak tempuh
Keterangan gambar :
Bagian yang di arsir    : vortex atau lorong/ruang waktu
Merah                          : planet A
Oreange                       : planet B
Hitam                          : jarak antara planet A dan B
Biru                             : jalur tempuh pesawat NASA
Hijau                           : jalur tempuh UFO
Pada gambar diatas perbandingan jarak tempuh kedua pesawat adalah :
Atau dengan kata lain jika pesawat NASA terbang sejauh 1 km membutuhkan waktu 6.96 sec (0.14 km/sec) sedangkan pesawat UFO hanya butuh waktu 1 sec untuk jarak yang sama (1 km/sec).
Jika kedua pesawat melakukan perjalanan selama 1 sec maka untuk :
NASA    =
               = 8.4 km/mint
UFO       =
               = 60 km/mint
Bayangkan perbandingannya jika kedua pesawat tersebut melakukan perjalanan dalam waktu 1 jam, 1 hari atau bahkan 1 bulan! Jadi sangat jelas terlihat bahwa betapa jauh perbandingan antara jarak yang mampu ditempuh oleh UFO dengan NASA.
Menit
km/min
1
8.4
60
10
84
600
20
168
1200
30
252
1800
40
336
2400
50
420
3000
60
504
3600
Tabel Perbandingan jarak tempuh antara UFO dengan pesawat NASA
dalam 1 jam


Grafik Perbandingan jarak tempuh antara UFO dengan pesawat NASA
dalam 1 jam

Kesamaan dari masalah – masalah yang kita bahas tadi diatas telah terjadi dibumi dan dialami oleh beberapa orang pada akhir tahun 2004.
Tepatnya pada tanggal 26 Desember 2004, pukul 01.58 WIB (6 jam sebelum tsunami) telah terjadi banyak kekacauan waktu (time glitch) di berbagai belahan dunia. Para Profesor atau para ahli ilmu Quantum Fisik dari Universitas Tokyo di Shinjuku, Jepang berteori bahwa : Tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 pukul 07.45 pagi adalah usaha bumi untuk mengoreksi waktu. Hubungannya adalah hantaman palung tsunami yang begitu kerasnya membuat bumi terhenti selama 3 milisec. Kemudian waktu berjalan normal kembali.
                                                                     (Alex Lehmaan dan Nakajiwaa, 2005)
Masalah dan kejadian – kejadian diluar akal manusia pun bermunculan, misalnya dalam keadaan tanpa sadar seseorang bisa pindah ke tempat yang sangat jauh dalam waktu sesaat, mengalami hal – hal yang berulang pada waktu yang selisihnya hanya sesaat. Sungguh sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal manusia dan oleh ilmiah, ini semua adalah fenomena alam dan tidak rasional.

The Meaning of a Kiss

Berbagai Jenis Ciuman dan Makna di Dalamnya

Ciuman bukan sekedar ungkapan umum dari kata I Love You, namun menjadi suatu simbol ungkapan perasaan tertentu. Kenali berbagai ciuman di bawah ini agar Anda tahu makna yang tersimpan di dalamnya.

1. Ciuman di Kening
Ciuman di kening adalah sebuah kecupan yang menandakan perasaan yang hangat. Ciuman ini mengungkapkan, "Aku ingin kita bisa bersama selamanya."
2. Ciuman di Tangan
Untuk orang Indonesia, cium tangan merupakan wujud penghormatan kita pada orang yang lebih tua. Namun di negara lain, ciuman ini juga berarti sebuah penghargaan dan kekaguman. Perhatikan saat gentleman bertemu dengan lady yang cantik, mereka akan mencium tangannya seolah mengatakan, "Aku mengagumimu."
3. Ciuman di Pipi
Ciuman di pipi bisa menunjukkan sebuah silaturahmi. Sebuah kasih sayang yang universal. Seperti yang Anda lakukan pada ibu, ayah, saudara atau teman-teman. Kecupan ini memberikan rona bahagia bagi mereka.
4. Ciuman di Telinga
Sebuah kecupan di telinga merupakan tanda pujian yang bersifat intim. Ia ingin mengatakan bahwa Anda adalah dunia baginya. Biasanya disertai dengan bisikan lembut dan sebuah dekapan mesra.
5. Ciuman di Leher
Leher juga merupakan bagian yang sensual. Bila dia mengecup Anda di bagian ini, maka ia ingin menunjukkan kesatuan diri dan jiwanya bersama Anda. Ciuman ini juga sering digunakan untuk foreplay.
6. Ciuman di Perut
Sebuah kecupan di perut biasanya terjadi saat pasangan ingin berhubungan intim dengan Anda. Ini menandakan bahwa ia berkata, "Aku siap."
7. Ciuman di Pundak
Saat ia mengecup pundak Anda, ini adalah pertanda dia menginginkan Anda. Ciuman ini bisa menjadi kode bahwa ia ingin dimanjakan atau bersama dengan Anda.
8. Ciuman di Bibir
Ciuman di bibir selalu menandakan cinta. Saat ciuman menjadi lebih dalam, maka ciuman ini mengandung gairah. Bila ciuman tersebut semakin 'nakal' dan 'liar' maka ada nafsu di dalamnya. Ciuman bertahap seperti ini biasanya terjadi saat Anda akan berhubungan intim.

Itulah beberapa makna ciuman yang perlu Anda pahami. Nanti ketika si dia mengecup Anda, tak perlu mengira-ngira lagi apa yang sedang ia pikirkan.

Rabu, 19 Juni 2013

Sejarah Aceh (dari masa ke masa)

Kerajaan Aceh Darussalam 407 tahun (1496 - 1903 m)
Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala‘ al-Din Mughayat Syah (1636-1641M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil mempertahankan masa kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri Iskandar Thani. Hingga tahun 1699 M, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan Aceh sudah mulai memasuki era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama Wujudiyah terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para hartawan dan uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya berhasil memakzulkan Ratu Kamalat Syah. Sejak saat itu, berakhirlah era sultanah di Aceh.
Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-18 tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M, Belanda mulai mengancam Aceh atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal merebaut Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang sarjana dari Universitas Leiden, menyarankan kepada pemerintahnya agar mengubah fokus serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, maka serangan harus diarahkan kepada para ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar Belanda.

Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses menaklukkan Aceh. J.B. van Heutsz, sang panglima militer, kemudian diangkat sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun 1904, hampir seluruh Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya pada Belanda. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat tetap berlangsung. Sebagai catatan, selama perang Aceh, Belanda telah kehilangan empat orang jenderalnya yaitu: Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin.
Kekuasaan Belanda berlangsung hampir setengah abad, dan berakhir seiring dengan masuknya Jepang ke Aceh pada 9 Februari 1942. Saat itu, kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Hubungan baik dengan Jepang tidak berlangsung lama. Ketika Jepang mulai melakukan pelecehan terhadap perempuan Aceh dan memaksa masyarakat untuk membungkuk pada matahari terbit, maka, saat itu pula mulai timbul perlawanan. Di antara tokoh yang dikenal gigih melawan Jepang adalah Teungku Abdul Jalil. Kekuasaan para penjajah berakhir ketika Indonesia merdeka dan Aceh bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2. Silsilah

Berikut ini daftar para sultan yang pernah berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam:
1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala‘ al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala‘ al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala‘ al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala‘ al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-…)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)

Catatan: Sultan Ala‘ al-Din Jauhar al-Alam (sultan ke-29) berkuasa pada dua periode yang berbeda, diselingi oleh periode Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818).

3. Periode Pemerintahan

Kerajaan Aceh Darussalam berdiri sejak akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-20 M. Dalam rentang masa empat abad tersebut, telah berkuasa 35 orang sultan dan sultanah.

4. Wilayah kekuasaan

Di masa kejayaannya, wilayah kerajaan Aceh Darussalam mencakup sebagian pulau Sumatera, sebagian Semenanjung Malaya dan Pattani.

5. Struktur pemerintahan

Pada masa Sultan Ala‘ al-Din Mansur Syah (1577-1589) berkuasa, kerajaan Aceh sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Kanun Syarak Kerajaan Aceh. Undang-undang ini berbasis pada al-Quran dan hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa, walaupun Aceh telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.

Dalam struktur pemerintahan Aceh, sultan merupakan penguasa tertinggi yang membawahi jabatan struktural lainnya. Di antara jabatan struktural lainnya adalah uleebalang yang mengepalai unit pemerintahan nanggroe (negeri), panglima sagoe (panglima sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan mukim yang terdiri dari beberapa gampong, dan keuchiek atau geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan gampong (kampung). Jabatan struktural ini mengurus masalah keduniaan (sekuler). Sedangkan pemimpin yang mengurus masalah keagamaan adalah tengku meunasah, imam mukim, kadli dan para teungku.

6. Kehidupan Sosial Budaya

a. agama

Dalam sejarah nasional Indonesia, Aceh sering disebut sebagai Negeri Serambi Mekah, karena Islam masuk pertama kali ke Indonesia melalui kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Sesuai dengan namanya, Serambi Mekah, orang Aceh mayoritas beragama Islam dan kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam ini. Oleh sebab itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan masyarakat Aceh. Selain dalam keluarga, pusat penyebaran dan pendidikan agama Islam berlangsung di dayah dan rangkang (sekolah agama). Guru yang memimpin pendidikan dan pengajaran di dayah disebut dengan teungku. Jika ilmunya sudah cukup dalam, maka para teungku tersebut mendapat gelar baru sebagai Teungku Chiek. Di kampung-kampung, urusan keagamaan masyarakat dipimpin oleh seseorang yang disebut dengan tengku meunasah.

Pengaruh Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa dan sastra Aceh. Manuskrip-manuskrip terkenal peninggalan Islam di Nusantara banyak di antaranya yang berasal dari Aceh, seperti Bustanussalatin dan Tibyan fi Ma‘rifatil Adyan karangan Nuruddin ar-Raniri pada awal abad ke-17; kitab Tarjuman al-Mustafid yang merupakan tafsir Al Quran Melayu pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel tahun 1670-an; dan Tajussalatin karya Hamzah Fansuri. Peninggalan manuskrip tersebut merupakan bukti bahwa, Aceh sangat berperan dalam pembentukan tradisi intelektual Islam di Nusantara. Karya sastra lainnya, seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Malem Diwa, Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, merupakan bukti lain kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh.

b. Struktur sosial

Lapisan sosial masyarakat Aceh berbasis pada jabatan struktural, kualitas keagamaan dan kepemilikan harta benda. Mereka yang menduduki jabatan struktural di kerajaan menduduki lapisan sosial tersendiri, lapisan teratasnya adalah sultan, dibawahnya ada para penguasa daerah. Sedangkan lapisan berbasis keagamaan merupakan lapisan yang merujuk pada status dan peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan keagamaan. Dalam lapisan ini, juga terdapat kelompok yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad. Mereka ini menempati posisi istimewa dalam kehidupan sehari-hari, yang laki-laki bergelar Sayyed, dan yang perempuan bergelar Syarifah. Lapisan sosial lainnya dan memegang peranan sangat penting adalah para orang kaya yang menguasai perdagangan, saat itu komoditasnya adalah rempah-rempah, dan yang terpenting adalah lada.

c. Kehidupan sehari-hari

Sebagai tempat tinggal sehari-hari, orang Aceh membangun rumah yang sering disebut juga dengan rumoh Aceh. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka bercocok tanam di lahan yang memang tersedia luas di Aceh. Bagi yang tinggal di kawasan kota pesisir, banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang. Senjata tradisional orang Aceh yang paling terkenal adalah rencong, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat dari dekat menyerupai tulisan kaligrafi bismillah. Senjata khas lainnya adalah Sikin Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee.

Banda Aceh: Dari Masa Ke Masa
Sebelum munculnya kerajaan-kerajaan di daerah Aceh ini telah diketemukan tanda-tanda adanya kehidupan manusia sejak jaman masa prasejarah. Peninggalan-peninggalan bukit-bukit kecil yang tingginya sekitar 4-7 meter yang terdiri dari bahan-bahan kulit kerang di Aceh Timur sekarang membuktikan keberadaan manusia di Aceh pada masa mesolithicum. Di dalam bukit-bukit itu terdapat artefak-artefak (alat-alat) sejenis alat batu. Menurut penyelidikan para ahli, kebudayaan Mesolithicum di Aceh Timur ini berpangkal di daerah Bakson Hoa Binh di Tonkin kemudian berpindah ke selatan dan masuk bagian barat Indonesia.
Pada masa Neolithicum kebudayaan me-ningkat lebih tinggi dari sebelumnya. Pada masa itu manusia mulai melakukan pekerjaan pertanian dan tidak bersifat nomaden lagi. Adapun bangsa yang dianggap memiliki kebudayaan seperti itu adalah bangsa Melayu Tua. Diduga bangsa Melayu Tua ini pernah mendiami wilayah Aceh. Namun kemudian, bangsa ini terdesak oleh bangsa Melayu Muda yang datang kemudian dengan membawa kebudayaan yang lebih tinggi. Mereka telah mampu membuat peralatan dari perunggu atau besi. Bangsa Melayu Muda inilah yang dianggap sebagai nenek moyang suku bangsa Jawa, Aceh, Bugis, Melayu, Banjar dan sebagainya.
Sebelum Islam masuk ke Aceh, diduga telah ada kerajaan bernama Lamuri, yang tampaknya ada berbagai macam penyebutan. Ada yang menyebut Lamori, Rami, Lamli, Lan-bu-li, Lan-wu-li, Ramni, Lamri dan Nanpoli. Namun tampaknya penulis-penulis asing tidak ada yang membedakan penggunaan nama tersebut (M. Ibrahim, et.al, 1991). Keberadaan kerajaan ini telah banyak ditulis oleh penulis bangsa asing baik dari Barat maupun Asia. Kerajaan ini diperkirakan telah pula menjalin hubungan dengan kerajaan di luar Aceh, seperti Cina dan Persia.
Pada masa kerajaan Lamuri kota Banda Aceh memang belum terbentuk. Keberadaan ibukota kerajaan Lamuri sendiri masih belum diketahui secara tepat. Namun berdasarkan Hikayat Aceh kerajaan ini terletak di tepi laut/pantai. Teuku Iskandar mengatakan bahwa Lamuri terletak di dekat Krueng Raya. Namun kemudian, pada akhir abad ke-15 pusat kerajaan ini dipindah ke Makota Alam (Kuta Alam sekarang) yang terletak di sisi utara Krueng Aceh. Pemindahan ini disebabkan karena adanya serangan dari Pidie dan pendangkalan muara sungai. Sejak itu, kerajaan Lamuri dikenal dengan nama kerajaan Makota Alam.
Selain kerajaan Makota Alam, di Krueng Aceh saat itu terdapat pula kerajaan lain, yaitu kerajaan Aceh. Diduga kedua kerajaan ini tumbuh secara bersama-sama. Raja-raja yang pertama di kerajaan Aceh berkedudukan di Kandang Aceh (tidak jauh dari kota Banda Aceh sekarang). Sebuah catatan yang dipelajari oleh Hoesin Djajadiningrat mengatakan bahwa Sultan Johan Syah yang memerintah pada tahun 601 H (1205 M) berkedudukan di Kandang Aceh. Tampaknya, hal inilah yang selanjutnya dalam Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh, Sultan Johan Syah ditetapkan sebagai pendiri kerajaan Aceh dan awal pemerintahannya (tanggal 22 April 1205 atau 1 Ramadhan 601 H) ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Banda Aceh sesuai dengan yang terdapat dalam Adat Aceh.
Namun kemudian, ibukota kerajaan ini juga dipindahkan ke Daruddunia oleh Sultan Mahmud Syah sesudah memerintah selama 43 tahun. Sebelum tahun 1500 Aceh belum dikenal oleh orang-orang asing karena kerajaan ini terletak lebih dari satu mil ke pedalaman sehingga tidak banyak disinggahi oleh orang-orang asing yang melakukan perjalanan antara Cina dan India. Walaupun ibukota kerajaan pernah dipindah, tetapi kemudian ibukota kerajaan Aceh ini dipindah lagi ke Darul Kamal (lebih kurang 10 Km dari pantai). Alasan pemindahan ibukota ini tidak diketahui. Sejak itu kerajaan Aceh dikenal dengan nama kerajaan Darul Kamal atau Aceh Darul Kamal.
Di antara kedua kerajaan yang telah disebutkan di atas ternyata tidak pernah dapat hidup rukun. Keduanya sering kali terlibat dalam pertempuran untuk saling mengalahkan. Walaupun kerajaan Mahkota Alam mendatangkan senjata atau meriam dari luar, namun tidak ada satu pun di antaranya yang berhasil mengalahkan. Pertentangan kedua kerajaan berakhir setelah kerajaan Mahkota Alam yang saat itu diperintah oleh Sultan Syamsu Syah putera Munawar Syah melakukan siasat licik.
Di dalam Hikayat Aceh (M. Ibrahim, et.al, 1991) disebutkan bahwa Syamsu Syah pura-pura menjodohkan puteranya Ali Muhayat Syah dengan puteri kerajaan Darul Kamal. Peminangan ini dapat diterima oleh Sultan Muzaffar Syah putera Inayat Syah yang pada waktu itu memerintah Darul Kamal. Namun pada saat arakan-arakan mengantarkan mas kimpoi, pasukan Makota Alam menyembunyikan senjata-senjata perang. Setibanya di Darul Kamal pasukan Makota Alam melakukan serangan tiba-tiba terhadap Darul Kamal. Banyak jatuh korban di kalangan pem- besar kerajaan termasuk pula Sultan Muzaffar Syah. Dengan demikian, Sultan Syamsu Syah dari Mahkota Alam memerintah kedua kerajaan.
Pada tahun 1516 Ali Mughayat Syah dinobatkan menjadi raja, menggantikan ayahnya Sultan Syamsu Syah. Ibukota kerajaan dipindahkan lagi ke Daruddunia (Banda Aceh sekarang). Dan, sejak itu kedua kerajaan sudah dipersatukan. Nama kerajaan kemudian menjadi kerajaan Aceh Darussalam dengan ibukotanya disebut juga dengan nama Bandar Aceh Darussalam.
Pada masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah naik tahta kerajaan-kerajaan di sekitarnya, seperti Pidie, Perlak, Samudra Pasai, ditaklukkan dan dimasukkan ke dalam wilayah kerajaan Aceh. Perluasan kerajaan ini tidak lepas dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Semenjak Malaka jatuh ke tangan Portugis perdagangan di Selat Malaka menjadi kacau. Para pedagang mencari alternatif lain. Akhirnya Bandar Aceh Darussalam menjalankan peran yang pernah dipegang oleh Malaka.
Semenjak saat itu Banda Aceh menapaki masa kejayaannya. Kota Banda Aceh berkembang menjadi kota maritim, perdagangan, dan bahkan kota metropolitan pada masanya, selain sebagai ibukota kerajaan. Perkembangan Banda Aceh memasuki masa puncaknya pada saat kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda membangun negerinya dengan sungguh-sungguh. Sultan Iskandar Muda juga menetapkan Kanun Meukuta Alam sebagai sumber hukum yang mengatur tata kehidupan bermasyarakat dan tata kehidupan kerajaan.
Kota Banda Aceh dibangun sedemikian rupa sehingga representatif sebagai sebuah ibukota kerajaan besar. Seperti juga kota-kota besar lainnya, prasarana dan sarana Banda Aceh boleh dikatakan cukup lengkap. Letak Istana kerajaan yang dinamakan Daruddunia menghadap ke Barat Laut. Kemudian di sekeliling istana dibangun danau dan sungai buatan yang mengalir di tengah-tengah istana, yang dinamakan Darul Asyiki. Di samping itu, dibangun Taman Sari yang dinamakan Taman Ghairah. Di sebelah Barat istana dibangun sebuah mesjid raya (Mesjid Jami) yang dinamakan Baiturrahman sedangkan masjid di dalam istana dinamakan Baiturrahim serta dibangun pula mesjid kecil lainnya di dalam kota.
Kampung-kampung juga telah ditata dengan baik yang di- sesuaikan dengan profesi atau asal penduduknya, seperti ada kampung Pande (tempat-tempat kediaman tukang-tukang), kampung Biduen (tempat kediaman para penghibur), kampung Jawa (tempat kediaman orang Jawa), dan sebagainya. Sedangkan jumlah penduduk Banda Aceh saat itu diperkirakan 100.000 orang (Zakaria Ahmad dan M.Ibrahim, 1986). Suatu angka jumlah penduduk kota yang cukup besar pada masa itu.
Saat itu, Sultan Iskandar Muda juga berusaha memerangi Portugis yang masih bercokol di Malaka. Beberapa kali Sultan Iskandar Muda mengirim pasukan ke sana, namun sampai akhir masa pemerintahannya Portugis tidak terusir dari Malaka.
Kemudian, Belanda datang mencoba menganeksasi kerajaan Aceh. Banda Aceh yang sedang mengalami puncak kejayaannya mulai surut selangkah ke belakang. Pada tahun 1873 Banda Aceh mendapat serangan dari Belanda. Pada saat itu, Mesjid Baiturrahman sempat direbut oleh Belanda, namun Belanda harus angkat kaki lagi karena rakyat Aceh berhasil mengusirnya kembali. Baru pada saat serangan kedua Belanda berhasil merebut dalam (kraton) dan Mesjid Baiturrahman. Sultan Mahmud Syah yang memerintah saat itu kemudian meninggalkan kraton dan mengungsi ke tempat lain.
Pada tanggal 24 Januari 1874 Jendral Van Swieten sempat menggantikan nama Banda Aceh menjadi Kutaradja. Perubahan yang dilakukannya mempunyai tujuan politis, ingin menunjukkan kepada gubernur jendral di Batavia dan kepada raja Belanda di Amsterdam seolah-olah ia telah menguasai istana raja dan kerajaan Aceh.
Walaupun Belanda berhasil merebut kraton namun demikian bukan berarti kerajaan Aceh telah jatuh. Perlawanan terus-menerus diberikan oleh rakyat Aceh. Di sinilah Belanda mengalami perang yang paling lama dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dibandingkan perang-perang lain di tanah air. Pada masa pendudukan Belanda, di Banda Aceh sempat dibangun kembali Mesjid Baiturrahman oleh pihak Belanda untuk menarik simpati rakyat Aceh, walaupun tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami oleh rakyat Aceh.

Di bawah kekuasaan Belanda, kota Kutaradja dijadikan sebagai tempat kedudukan gubernur, baik gubernur militer (sebelum tahun 1918) maupun gubernur sipil (dari 1918-1936). Hal ini tampak dari dibangunnya Pendopo Gubernur. Gubernur membawahi Aceh dan daerah-daerah takluknya (Atjeh en Onderhoorigheden). Wilayahnya meliputi Propinsi daerah Istimewa Aceh sekarang. Sejak tahun 1936 pemerintah Hindia Belanda merubah status Aceh dari gubernemen menjadi karesidenan, yang pimpinannya berada di bawah seorang residen dan berkedudukan di Kutaradja (Banda Aceh). Status karesidenan ini berlangsung hingga tahun 1942, saat Belanda meninggalkan Indonesia dan Jepang masuk ke Indonesia.
Masuknya Jepang tidak merubah keadaan kota Kutaradja. Struktur pemerintahan Belanda masih tetap diteruskan. Kota Kutaradja masih tetap berstatus sebagai karesidenan yang diperintah oleh seorang residen. Saat itu, yang berubah hanya nama-nama saja (disesuaikan dengan nama Jepang), kalaupun ada perubahan tidak begitu berarti.
Selama pendudukan Jepang, kondisi sosial ekonomi pun tidak begitu berubah, malahan lebih parah dibandingkan sebelumnya. Semangat perjuangan pun tidak pernah pudar. Rakyat masih tetap berjuang mengusir kaum imprialis dan kolonialis.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Kutaradja tidak semata-mata menjadi ibukota propinsi daerah Aceh, tetapi juga pernah menjadi tempat kedudukan ibukota Propinsi Sumatra Utara dan bahkan pernah ditetapkan pemerintah pusat sebagai tempat kedudukan resmi wakil perdana menteri Republik Indonesia mulai tanggal 4 Agustus 1949.
Banda Aceh pernah pula dijadikan pusat pengatur perlawanan terhadap pasukan penjajah yang datang kembali ke Indonesia, utamanya sebagai tempat kedudukan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Pada saat pemerintah pusat Republik Indonesia di Yogyakarta sekali lagi Banda Aceh berperan besar dalam membantu pemerintah pusat. Dari kota inilah semua kebijakan dirumuskan. Peran lain yang menonjol pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949) ini adalah Banda Aceh tampil sebagai daerah modal. Pada tanggal 23 Maret 1956 dengan Undang-undang No.8/DRT/1956 dibentuk daerah otonom, yaitu Kotapradja Kutaradja dengan ibukotanya Kutaradja.
Ketika ada "riak kecil" di daerah Aceh, Kutaradja tampil kembali sebagai tempat bersejarah. Kota Kutaradja ditetapkan sebagai tempat Sidang Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Setelah Sidang Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh dan Gubernur Aceh pada masa itu dijabat oleh A. Hasjmy nama Kutaradja dirubah kembali menjadi Banda Aceh. Resminya nama itu ditetapkan pada tanggal 21 April 1962. Dan, sejak saat itu secara berangsur-angsur nama Kutaradja jarang dipergunakan lagi.
Dalam lintasan sejarahnya, Banda Aceh ternyata telah menapaki masa-masa pasang dan surut yang memiliki kronologis sejarah yang cukup panjang. Semenjak Orde Baru, Banda Aceh mulai menapaki masa-masa pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Denyut nadi pembangunan terasa setiap hari di kota ini. Kota dibangun dengan sungguh-sungguh dan dilengkapinya dengan berbagai fasilitas yang layak sebagai sebuah kota, yang tidak hanya sebagai sebuah ibukota kotamadya, tetapi juga sebagai sebuah ibukota propinsi. Berbagai prestasi pernah diraih oleh kota ini. Salah satunya adalah penerimaan penghargaan sebagai kota terbersih, Adipura, dari Presiden Soeharto yang diterima oleh Walikota Sayed Husein Al Haz pada tahun 1996 yang lalu. 

 
Banda Aceh Sebagai Pusat Perdagangan Di Selat Malaka Pada Abad 16-19

Banda Aceh menjadi semakin berkembang ketika sultan Aceh berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan otonom yang telah ada di kedua sisi pantai pantai Sumatra, yaitu Daya, Singkel, Barus, Tiku, Pariaman, Lamuri, Pidie, Pasei, Peureulak, Aru, Deli Siak, bahkan Johor atau Pahang. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang kaya sumber daya komoditi pertanian/hutan dan bahan mineral. Karena potensi daerah pedalaman yang terbatas untuk menunjang kebutuhan ibukota kerajaan dan sebagai sumber pemasukan dan pembiayaan istana, maka sultan kemudian memberlakukan serangkaian kebijakan yang bersifat pembatasan daerah takluk dengan dunia keluar dan sekaligus memaksa kapal-kapal asing untuk berhubungan dengan ibukota (Banda Aceh).
Kebijakan tersebut membawa dampak bahwa Bandar Aceh Darusssalam (Banda Aceh-sekarang) tumbuh menjadi kota perniagaan yang ramai. Banyak pedagang asing singgah dan menetap, diantaranya dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam, Eropa dan lain-lain. Kota ini tumbuh menjadi sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter multietnis. John Davis of Sandridge, yang bekerja untuk sebuah kapal Belanda di bawah pimpinan de Houtman bersaudara (Cornelis dan Frederick) berada di Aceh pada 1598 (ketika Aceh berada di bawah Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Mukammil (1589-1604)) menulis kesan-kesannya tentang keberadaan orang asing dan perdagangan di Aceh dengan mengatakan bahwa,

“The one and twentieth (June 1599) we anchored in the Bay of Achin, in twelve fathome. Being here, the King sent hos Officers to measure the length and breadth of our ships, to take the number of our Men and Ordnance, which they did. With those Officers, our Baase (Dutch baas, boss) sent two of his people with Present to the King, a Looking-glasse, a Drinking-glasse, and Bracelet of Corall. The one and twentieth, our men came aboord, whome the King had apparelled after his Countrey manner, in white Calicut cloth: they brought newes of peace, Welcome and plenty of Scicery. We found foure Banks riding the Bay, three of Arabia, and of Pegu, that came to lade Pepper. Here was also a Portugall, named Don Alfonso Vincent, that came with foure Barkes from Malacca, to prevent our trade (Ali, 2008: 4)

(Tanggal 21 (Juni 1599) kami bersauh di pantai Aceh, sedalam dua belas depa. Raja mengirim pejabatnya untuk mengukur panjang dan luasnya kapal-kapal kami, menghitung jumlah anggota kami dan peralatan militer. Bersama dengan pejabat-pejabat itu, pemimpin kami mengirim dua anggotannya dengan (membawa) hadiah-hadiah kepada raja, sebuah cermin dan gelas, serta gelang batu. Pada tanggal 21 kami mendarat dimana raja telah berdandan khas daerah dalam pakaian putih Kalikut: mereka menyampaikan berita perdamaian, keramah-tamahan, dan sekian banyak rempah-rempah. Kami melihat empat barks (kapal, tongkang ?) yang berlayar di pantai, tiga milik orang Arab dan satunya lagi milik orang Pegu, yang datang untuk memuat lada. Juga orang Portugas, bernama Don Alfonso Vincent, yang datang dengan empat barks dari Malaka, untuk merintangi perdagangan kami).

Tiga tahun kemudian Sir James Lancaster (Rusdi dan Wibowo, 2004) juga mengunjungi kota ini, melukiskan kesan-kesannya dengan mengatakan bahwa,

“... in the roade of Achem, some two miles of the city; where we found eighteen saile of shippes of divers nations, some goserats, some of Benggala some of Calicut (called Malabares), some Pegues, and some Patanyes, which came to trade there”

(“... dalam perjalanan menuju Aceh, kira-kira dua mil dari kota, kita melihat 18 pelaut dari kapal-kapal niaga dari bermacam-macam bangsa, beberapa dari Gujarat, beberapa dari Benggala, beberapa dari Kalikut (disebut juga Malabar), beberapa dari Pegue, beberapa dari Pataya, yang datang untuk berdagang di sana)”.

Sedangkan dalam Hikayat Malem Dagang, kondisi Banda Aceh digambar dengan kata-kata sebagai berikut,

“Bak masa nyan (Iskandar Muda) rame pi that, peu nyan hajat dum halena. Nanggroe pi luah, banda pi rame han meu ne/ne keunan teuka. Padum-padum kapay di Kleng jime bakong beusoe meulila. Padum kapay Meulabari ngon Geujarati ngon Beunggala... Padum kapay na yang me tjawan, krikay, dulang, pingan raya. Padum-padum kapay di Keudah,- idja mirah meuneukat jiba, tunong baroh, timu barat, dempeu alat pi na jiba. Di Atjeh kon troih u barat, meuceuhu that po meukuta”.

Pasar adalah sebuah tempat bertransaksi dan salah satu pusat keramaian. Adanya pasar dapat menarik bangsa-bangsa lain untuk datang ke Aceh. Apalagi Malaka sebagai salah satu pusat perdagangan di selat Malaka dikuasai oleh Portugis. Banda Aceh yang saat itu menggantikan posisi Malaka menjadi semakin ramai. Menurut Dampier, kota itu rumahnya 7 atau 8000. “Achin kelilingnya kira-kira 2 mil”, kata de Graff. Pasar, seperti yang disebut Davis, berupa lapangan besar yang setiap hari menjadi pasar segala macam barang dagangan. Yang dilihat Graff hanya tinggal dua lapangan besar untuk mengadakan pasar, yang satu “di tengah-tengah kota” dan yang lain “di ujung atas” (hulu sungai ?). Di tempat itulah para pedagang, baik yang muslim maupun yang menyembah berhala, dengan segala macam dagangannya. Peter Mundy memberitakan bahwa ada yang menjual telur penyu rebus. Warung mereka masing-masing dipungut bea sekeping emas sebulan untuk orang kaya Sri Maharaja (Ambary, 1988: 91-92). Dalam hal ini, John Davis (Ali, 2008) juga menggambarkan keadaan kota Banda Aceh dengan mengatakan,

“the citie of Achin, if it may be so called, is very spacious, built in wood, so that we could not see a house till we were upon it. Neither could we go into any place, but wee found houses, and great councourse of people: so that I thinke the town spreadeth over the whole land... I saw three great market places, which are everdy frequented as faires with all kindes of merchandize to sell”.

(Kota Aceh, jika boleh disebutkan kota, yang dibangun di tengah hutan, sangat luas, hingga kita tak bisa melihat rumah kecuali telah berada di sana. Kemana pun pergi, kita temukan rumah-rumah dan kerumunan orang hingga saya kira kota tersebut meluas ke seluruh negeri... saya melihat tiga pasar besar yang dikunjungi orang setiap hari dengan seluruh jenis barang dagangan untuk dijual).

Selain pasar, pusat kegiatan umum yang menghidupkan denyut jantung kota adalah masjid. Pada masa Iskandar Muda berkuasa, masjid selalu dibangun dalam jumlah besar. Bahkan Masjid Bait ur Rahman pernah dipugar dan diperbesar pada tahun 1614. Akan tetapi, sangat disayangkan, pada masa pemerintahan Sultan Nurul Alam (1675-1678) terbakar. Namun demikian, sebelumnya Peter Mundi (1673) pernah membuat dokumentasi bagaimana bentuk masjid tersebut.
Untuk menunjang aktivitas perdagangan, Banda Aceh pada zamannya, sultan selalu memperhatikan pekerjaan bangunan kota dan berusaha supaya jumlahnya cukup banyak untuk menampung pendatang baru yang tertarik oleh pengembangan kota besar. Menurut Beaulieu, Sultanlah yang memberi pengarahan, dia sendiri yang menentukan bagaimana contoh gedung yang hanya mempunyai satu lantai dan dindingnya dari anyaman. Ia juga mengawasi supaya pembangunannya berlangsung secepat-cepatnya, dan budak-budak raja dipakainya dalam pekerjaan itu sibuk siang malam, “tanpa menyia-nyiakan terang cahaya bulan”.
Akan tetapi, ada keluhan tentang masalah rumah ini bagi pelaut/penjelajah asing, yaitu harga tanah dan bangunan mahal. “The ground and house cost almost one hundred pound starling”, kata James Lancaster. Sedangkan Beaulieu mempunyai pengalaman saat mencari rumah sewaan yang begitu tinggi meskipun menurutnya sudah menawar dengan harga tinggi pula,

“sesudah makan kami bersama-sama melihat rumah dekat rumah orang Inggris yang cukup nyaman. Tetapi, kapten pengawal, pemiliknya, minta seratus real setiap bulan; harga itu menurut saya terlalu tinggi, maka saya tak jadi menyewanya, meskipun saya sudah menawarkan 40 real sebulan”.

Walaupun mahal, rumah-rumah itu sendiri sedikit sekali yang dibangun dengan batu. Graff memberi gambaran bahwa rumah-rumah dari alang-alang dan dari bambu... tetapi semuanya terdiri di atas tiang bambu setinggi 4 atau bahkan sampai 6 kaki (1,20 m – 1,80 m) di atas tanah larena pasang purnama dan sungai hampir setiap tahun menggenangi kota sehingga orang terpaksa naik perahu dari rumah ke satu rumah lainnya (Lombard, 1986).
Untuk mendukung Banda Aceh sebagai pusat perdagangan kota Banda Aceh pada abad 16-17 tampak pula pengelompokkan kampung berdasarkan pada asal pedagang dan bangsa asing. Menurut catatan Davis di kota ini terdapat Kampung Portugis, Gujarat, Arab, Benggali, Pegu, “here are many of China that use trade, and have their particular towne, so have the Portugais, the Gusarates, the Arabinas, and those of Benggala and Pegu”.. Bahkan menurut Graff mereka yang menyembah berhala seperti Hindu mempunyai meru-meru mereka sendiri. Kampung Cina dan Eropa malah berhimpitan dan ada kampung-kampung lain yang rumahnya lebih jauh letaknya. Pada umumnya rumah terbuat dari kayu, bambu dengan atap alang-alang.
Selain perkampungan, tata ruang kota, fasilitas kota, di Banda Aceh juga telah ditetapkan peradilan yang mengatur tata tertib kehidupan masyarakat. Menurut Beaulieu, pada masa Sultan Iskandar Muda terdapat 4 peradilan, yaitu perdata, pidana, agama, dan niaga. Pengkhususan yang sedemikian tidak mengherankan dalam masyarakat sedemikian beragam dan kosmopolit. Peradilan perdata dilaksanakan setiap pagi, kecuali hari Jumat, di tempat balai peradilan yang letaknya dekat masjid Baiturrahman. Peradilan pidana juga bertempat di balai dekat balai perdata dan peradilan agama melaksanakan perkara-perkara khusus dengan tujuan menegakkan akhlak Islam bagi masyarakat Aceh, terutama dalam hal-hal berjudi, minuman keras, zinah dan sebagainya. Peradilan niaga dilakukan di balai yang terletak di dekat pelabuhan untuk menyelesaikan perselisihan antara pedagang, baik pedagang asing maupun pribumi. Peradilan niaga diketuai oleh Orang Kaya Laksamana yang kedudukannya sama dengan “walikota” (Lombard, 1986).
Kondisi alam yang tidak ramah bagi pelaut ketika akan memasuki Banda Aceh dapat menjadi benteng pertahanan alam yang tidak mudah masuk ke kota dari arah laut. Kesukaran-kesukaran tersebut merupakan jawaban mengapa kota tidak dilindungi oleh tembok kota untuk pertahanan dan secara sadar orang Aceh pun merasa tidak perlu tembok tersebut. Akan tetapi, gajah-gajah tempurlah sesungguhnya benteng kota (Lombard, 1986). Jumlah binatang ini pada masa jaya kerajaan Aceh sekitar 900 ekor. Selain itu, kerajaan Aceh juga memiliki kapal layar dan kapal galley. Di antara kapal-kapal tersebut mempunyai ukuran yang melebihi ukuran kapal yang dibangun oleh orang Eropa. Sebagai penunjang pertempuran, kerajaan Aceh memiliki meriam. Menurut Beaulieu pernah mencatat di Banda Aceh terdapat 2000 pucuk meriam, terdiri atas 1200 meriam berkaliber sedang dan 800 meriam berkaliber besar (Sufi, 1988: 145-146)